KERUSAKAN
LINGKUNGAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Disusun
Oleh :
Bayu Gusti Saputra (111510501152)
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2012
Pendahuluanengena aktual keanekaragaman
hayati
Dewasa ini kerusakan lingkungan hidup
masih terjadi dimana-mana termasuk di Indonesia. Kerusakan lingkungan tersebut
meliputi gangguan pada berbagai ekosistem
yang menyebabkan kerusakan keanekaragaman varietas (variety diversity)
dan keanekaragaman jenis (species diversity). Pada akhirnya, baik
secara langsung ataupun tidak langsung, manusia yang sangat tergantung pada
kelestarian ekosistem akan berlaku kurang bijaksana terhadap lingkungan untuk
memenuhi segala kebutuhannya. Kerusakan lingkungan, khususnya di Indonesia,
telah terjadi pada berbagai tempat dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada
ekosistem pertanian, pesisir dan lautan. Salah satu akibat dari kerusakan
lingkungan adalah ancaman kepunahan satwa liar. Selain itu berbagai kerusakan
lingkungan di ekosistem pertanian telah banyak terjadi baik pada ekosistem
pertanian sawah maupun ekosistem pertanian lahan kering nonpadi.
Meningkatnya
jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian ternyata telah berdampak terhadap
kerusakan lingkungan hidup dan menyusutnya lahan pertanian subur. Pertumbuhan
penduduk Indonesia telah meningkat dari 120 juta pada tahun 1968 menjadi 179
juta pada tahun 1990 dan 210 juta pada tahun 2000. Dengan tingkat pertumbuhan
sebesar 1,97% pertahun, maka tahun 2020 diperkirakan jumlah penduduk Indonesia
menjadi 250 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sekitar 70%-nya tinggal di Pulau
Jawa. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk tingkat kerusakan
lingkungan hidup di Indonesia semakin tinggi
Menurut Sudaryono (2001) akibat beralihnya
fungsi lahan pertanian untuk kepentingan lain berdampak terhadap menyempitnya
lahan pertanian, sehingga mendorong petani untuk mengusahakan lahan marginal
yang kurang subur untuk usaha bercocok tanam. Hal ini menjadi tantangan bagi
para pakar tanah untuk dapat lebih memperhatikan akibat terjadinya keterbatasan
sumber daya lahan dan kerusakan lahan pertanian. Peningkatan produktivitas
lahan yang masih ada melalui rehabilitasi lahan kritis atau lahan marginal
lainnya lebih penting dari pada membuka lahan baru untuk menambah produksi
hasil pertanian.
Aktivitas pertanian juga dapat menyebabkan dampak
yang merugikan. Erosi dan kerusakan tanah terjadi akibat budi daya pertanian
yang melampaui daya dukung tanah. Penggunaan bahan-bahan agrokimia yang
berlebihan dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kelestarian lahan.
Cara-cara budi daya pertanian yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi
lahan menyebabkan kualitas lahan menurun sejalan dengan hilangnya lapisan tanah
subur akibat erosi dan pencucian hara. Kerusakan tanah dan lingkungan makin
meningkat manakala terjadi perluasan areal pertanian untuk pengembangan
komoditas ekonomis dengan membuka lahan-lahan baru yang tidak sesuai dengan
kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Kondisi ini makin diperparah bila
pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran, sehingga terjadi pencemaran udara
dan peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfir (Tim Sintesis Kebijakan,2008).
Menurut Atmosukarto
(2005) Indonesia memiliki kekayaan lingkungan dan sumberdaya alam sangat besar,
namun masyarakat cenderung menganggap sebagai suatu kewajaran. Kerusakan
lingkungan yang telah meluas menggambarkan bahwa bangsa indonesia tidak
mengenal rasa syukur. Kekerasan terhadap lingkungan yang meluas juga bisa
dipandang sebagai bentuk akhir dari peradaban masyarakat bangsa yang menuju
kehancuran bersama. Dampak kerusakan lingkungan tersebut berupa adanya erosi
yang akan mengakibatkan pada kerusakan lingkungan pertanian, berkurangnya
kesuburan tanah yang akan mengakibatkan pada tidak produktifnya lahan yang akan
digunakan untuk lahan pertanian serta akan menghambat pada pertanian organik.
Kerusakan lingkungan uga berdampak pada rusaknya keanekaragaman hayati yang ada
pada lingkungan pertanian yang ada.
Indonesia
memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km atau sekitar 14% garis pantai dunia,
dengan luas perairannya mencapai 5,8 juta km2. Kekayaan yang dimiliki dikawasan
pesisir dan lautan adalah meliputi hutan mangrove, terumbu karang dan ikan
hias, rumput laut, dan perikanan. Pada akhir tahun 1980-an, luas hutan mangrove
masih tercatat mencapai 4,25 juta hektar dengan sebaran yang terluas ditemukan
dikawasan Irian Jaya (69 %), Sumatera (16 %), dan Kalimantan (9 %). Namun di
Pulau Jawa, kawasan hutan mangrove (bakau) sudah sangat terbatas, hanya
tinggal tersisa di bebarapa kawasan saja. Lahan dengan tingkat kerusakan berat umumnya masih
terbengkalai dan ditumbuhi rerumputan dan semak. Sebagian lahan telah dicoba
ditanami tanaman pangan, tetapi pertumbuhan tanaman kurang baik karena
kandungan garam dalam tanah masih cukup tinggi melebihi tingkat toleransi
tanaman. Lahan yang rusak ringan sebagian telah diusahakan kembali oleh petani
(Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian,
2006).
Rumusan Masalah
1.
Di wilayah manakah umumnya
terjadi kerusakan lingkungan ?
2.
Apa faktor penyebab
kerusakan terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati ?
3.
Bagaimana keadaan wilayah yang
mengalami kerusakan lingkungan dan adakah dampaknya terhadap keanekaragaman
hayati di wilayah tersebut ?
PEMBAHASAN
Kawasan
atau Lingkungan Utama yang Menyebabkan Berbagai Kerusakan Hayati
Kerusakan hayati merupakan
dampak dari pemanfaatan berbagai kawasan oleh manusia yang hanya menginginkan
keuntungan tanpa memperdulikan dampak buruk yang akan terjadi. Beberapa kawasan
yang menjadi pusat utama terhadap kerusakan lingkungan, diantaranya :
1.
Kawasan Pertanian
Revolusi Hijau memang telah berjasa meningkatkan
produksi padi secara nasional (makro), namun program tersebut juga telah
menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak sedikit, seperti kepunahan ratusan
varietas padi lokal, ledakan hama baru, serta pencemaran tanah dan air.
Pengaruh Revolusi Hijau pada sistem sawah, secara tidak langsung juga telah
menyebabkan komersialisasi pertanian lahan kering. Misalnya, akibat desakan
ekonomi pasar di berbagai tempat, sistem pertanian tradisional yang ramah
lingkungan, seperti kebun ditebangi, dibuka lalu digarap menjadi kebun sayuran
komersil. Akibatnya, sistem pertanian tradisional yang tadinya biasa ditanami
aneka jenis tanaman kayu bahan bangunan, kayu bakar dan buah-buahan, serta
ditanami dengan jenis tanaman semusim, seperti tanaman pangan, sayur, bumbu
masak, dan obat-obatan tradisional, kini telah berubah menjadi sistem pertanian
sayur monokultur komersil. Kendati memberi peluang keluaran (output) ekonomi
lebih tinggi, pengelolaan sistem pertanian komersil sayuran pada dasarnya
membutuhkan asupan (input) yang tinggi yang bersumber dari luar (pasar).
Keperluannya seperti, benih sayur, pupuk kimia
dan obat-obatan, sehingga petani menjadi sangat tergantung pada ekonomi pasar.
Akibat perubahan ini, berbagai kerusakan lingkungan terjadi di sentra-sentra
pertanian sayur lahan kering, seperti pegunungan Dieng di Jawa Tengah, Garut,
Lembang, Majalaya, Ciwidey, dan Pangalengan Jawa Barat. Kerusakan itu antara
lain timbulnya erosi tanah dan degradasi lahan, karena lahan menjadi terbuka.
Erosi tanah dan pencucian pupuk kimia, serta pestisida juga masuk ke badan
perairan, seperti sungai, kolam dan danau. Hal ini telah mengganggu lingkungan
perairan, seperti pendangkalan sungai, danau, dan pencemaran perairan yang
mengganggu kehidupan ikan, udang, dan lain-lain. Secara umum lahan yang
terbuka, telah menyebabkan punahnya fungsi-fungsi penting dari lahan pertanian
tradisional. Misalnya, fungsi pengatur tata air (hidroorologi), pengatur iklim
mikro, penghasil seresah dan humus, sebagai habitat satwa liar, dan perlindungan
varietas dan jenis-jenis tanaman lokal. Maka tidaklah heran bila berbagai
varietas atau jenis-jenis tanaman lokal, seperti bambu, buah-buahan, kayu
bakar, bahan bangunan, dan obat-obatan tradisional, makin langka karena kurang dibudidayakan
oleh para petani di lahan-lahan kering pedesaa.
2.
Kawasan Pesisir dan Lautan
Indonesia juga memiliki wilayah
terumbu karang terluas dengan bentangan dari barat ke timur sepanjang 17.500
km. Rumput laut juga ditemukan di banyak tempat. Rumput laut banyak digunakan
untuk kepentingan konsumsi manusia, sedangkan perikanan laut Indonesia yang kaya
akan jenis-jenis ikan memegang peranan penting terhadap keanekaragaman hayati
Indonesia. Namun sayangnya berbagai potensi kawasan pesisir dan lautan ini
telah mendapat berbagai tekanan berat dari kerusakan lingkungan yang
menjadiakan habitat mereka tercemar bahkan rusak. Bukan merupakan rahasia lagi
bahwa hutan mangrove di berbagai kawasan banyak terganggu. Misalnya,
penduduk lokal telah lama menggunakan berbagai pohon bakau untuk kayu bakar,
bahan bangunan, tonggak-tonggak bagan, tempat memasang jaring ikan, bahan arang
dan lain sebagainya.
Hutan mangrove juga telah
dibuka secara besar-besaran untuk dijadikan daerah pemukiman, perkebunan,
bercocok tanam dan pertambakan udang. Selain itu, pengambilan kayu kayu
mangrove berfungsi sebagai bahan bakar pabrik minyak kelapa, pabrik arang, dan
bahan bubur kayu (pulp). Penebangan hutan mangrove dapat membawa
dampak negatif, misalnya keanekaragaman jenis fauna di hutan tersebut berkurang
secara drastis, sementara habitat satwa liar, seperti jenis-jenis burung dan
mamalia terganggu. Dampak lain adalah hilangnya tempat bertelur dan berlindung
jenis-jenis kepiting, ikan dan udang sehingga banyak nelayan mengeluh karena
makin sedikitnya hasil tangkapan mereka.
Pengikisan pantai juga makin menjadi
diberbagai pesisir pantai di Indonesia, akibatnya air asin dari laut merembes
ke daratan. Maka daerah pertanian dan pemukiman jadi terganggu. Belum lagi
akibat jangka panjang dan dari segi ilmu pengetahuan, sangatlah sukar untuk
dapat menilai kerugian yang terjadi akibat kerusakan atau punahnya hutan mangrove
tersebut. Gangguan lainnya pada ekosistem pesisir dan laut adalah
penggunaan bahan peledak dan racun sianida untuk menangkap ikan serta
pengambilan terumbu karang. Hal tersebut menyebabkan berbagai gangguan dan
kerusakan terhadap jenis-jenis terumbu karang dan ikan hias. Gangguan terhadap
perikanan laut, antara lain terjadi karena adanya eksplotasi jenis-jenis ikan
dan udang yang melampui nilai keberlanjutannya dan diperberat dengan makin
maraknya pencurian yang dilakukan oleh para nelayan asing, seperti Thailand, Korea
Selatan, dan Filipina. Hal ini semua telah menyebabkan penangkan ikan secara
berlebihan (overfishing) yang mengganggu ekosistem laut. Untuk jangka
panjang, hal ini sangat membahayakan, karena keberlanjutan usaha perikanan
nelayan dan industri perikanan di Indonesia tidak dapat dijamin.
3. Kawasan Hutan
Berbagai kawasan hutan di Indonesia,
seperti hutan gambut yang tumbuh di lahan-lahan basah gambut, yang sangat masam
(pH 4.0) dan berkandungan hara rendah, serta lahan hutan hujan pamah Dipterocarparceae
ataupun non-Dipteroracpaceae telah banyak yang mengalami kerusakan.
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembukaan lahan gambut secara besar-besaran
dalam rangka Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) sejuta hektar di
Kalimantan Tengah pada tahun 1995, tanpa mempedulikan dampaknya terhadap
lingkungan hidup. Program di lahan seluas 1.687.112 hektar tersebut
diperuntukan bagi pengembangan pertanian tanaman pangan, lahan sawah, dan
sebagai kawasan transmigrasi. Namun gagasan tersebut pudar seiring dengan
munculnya sistem pemerintahan yang baru. Akibatnya lahan-lahan itu dibiarkan
membentuk semak-semak belukar sehingga para transmigran yang sudah lama bermukim
di sekitar tempat itu tidak dapat lagi menggarap lahan tersebut, karena selain
lahannya sudah tidak subur, banyak hama tikus dan babi hutan.
Kawasan hutan di Indonesia sering dibuka
dan dijadikan peladangan liar oleh penduduk pendatang, maka yang banyak terjadi
adalah kebakaran hutan serta pencurian hasil hutan. hal tersebut menyebabkan kerusakan
ekosistem hutan secara besar-besaran. Akibatnya, keanekaragam flora dan fauna
hutan menurun drastis, serta manfaat hutan bagi manusia dapat terganggu atau
hilang sama sekali. Contohnya, hilangnya manfaat hutan secara langsung bagi
manusia, antara lain hasil kayu, getah, sumber obat-obatan, bahan industri,
bahan kosmetik, buah-buahan dan lain-lain. Di samping itu, manfaat hutan secara
tidak langsung juga ikut hilang misalnya, sebagai pengatur tata air di alam
(hidrologi), memberi keindahan di alam, menjaga kelembaban udara, memelihara
iklim lokal, habitat satwa liar, sumber plasma nutfah, kepentingan rekreasi,
kepentingan ilmiah, dan lain-lain. Secara umum, yang paling merasakan akibatnya
secara langsung adalah penduduk yang bermukim dikawasan atau sekitar kawasan
hutan. Rusak atau hilangnya hutan, bukan saja dapat mengakibatkan gangguan lingkungan
hayati, tetapi juga secara langsung
dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan
disekitar hutan hutan. Mereka yang tadinya mendapatkan bahan makanan dari
jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar dengan bebas di hutan, maka akan
kehilangan sumber kehidupannya.
Dampak Kerusakan Lingkungan Terhadap Keanekaragaman Hayati
Kerusakan lingkungan akan mengganggu
berbagai aspek kehidupan manusia, diantaranya adalah terganggunya
keanekaragaman hayati yang meliputi flora dan fauna. Dewasa ini tercatat
berbagai jenis satwa liar di Indonesia yang kondisinya sangat mengkhawatirkan karena
kerusakan habitat satwa dan adanya perburuan liar. Salah satu fauna yang hampir
punah adalah Banteng Jawa (Bos javanicus), kendati satwa ini telah
dilindungi undang-undang di Indonesia, berdasarkan peraturan perlindungan
binatang liar 1931, namun nasib kelangsungan satwa ini belum dapat dijamin. Kerusakan
habitat asli Banteng Jawa terjadi di Hutan Pangandaran, Jawa Barat, dan terus
berlangsung dibeberapa tempat lain sehingga fauna ini hampir tidak memilki
habitatnya lagi.
Jenis mammalia langka lainnya, yaitu
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mengalami nasib yang serupa.
Hal ini diakibatkan oleh maraknya aksi pembabatan hutan, pemasangan perangkap
berat, dan pemburuan diam-diam yang terjadi di wilayah hutan Sumatera Barat.
Sehingga hal ini sangat mengancam terhadap keselamatan satwa langka yang telah
dilindungi undang-undang itu. Jenis-jenis burung di alam tak luput juga dari gangguan
manusia. Sebut saja misalnya Jalak Putih Bali, jenis-jenis burung Cendrawasih
dan Gelatik Jawa. Jalak putih Bali (Leucopsar rothschildi) yang merupakan
burung endemik di Bali Barat dan telah dilindungi undang-undang di Indonesia,
nasibnya terus terancam akibat gangguan yang cukup serius dan tak henti dari
ulah manusia, yaitu adanya perburuan liar dan perusakan habitat sebagai tempat
tinggalnya di daerah-daerah hutan. Perburuan liar banyak dilakukan oleh
penduduk, karena jenis burung itu laku dijual mahal di pasar-pasar burung di
kota sehingga para pemburu liar ini mendapat penghasilan yang cukup besar dari
memperdagangkan burung itu. Gangguan populasi burung tersebut juga diperberat
lagi oleh perusakan habitat melalui penebangan kayu secara liar yang dilakukan
penduduk untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangganya atau untuk dijual.
Nasib serupa juga menimpa berbagai jenis
burung Cendrawasih di Irian Jaya (Papua) yang kini terancam punah akibat
kerusakan hutan yang merupakan habitat burung tersebut. Penyebab lainnya adalah
perburuan liar secara besar-besaran oleh orang yang tidak bertanggung jawab,
yang menjerat burung malang tersebut dengan menggunakan jaring di udara. Jaring-jaring
biasanya dipasang dengan diikatkan pada ranting-ranting kayu persis pada
wilayah lalu lintas burung di udara. Sehingga ribuan ekor jenis-jenis burung
cendrawasih, kakatua hitam, kakatua putih dan nuri dapat ditangkap dan kemudian
diselundupkan ke kota-kota untuk diperjualbelikan. Uraian di atas menunjukkan
betapa besar dan luasnya kerusakan lingkungan yang mengancam pemanfaatan
keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.
Selain fauna
Indonesia yang mulai punah akibat kerusakan lingkungan, keanekaragaman hayati
lain yang terganggu adalah flora asli Indonesia. Banyak spesies pohon yang di
tebang untuk keperluan pembangunan dan digunakan sebagai keperluan rumah tangga,
contohnya seperti Pelalar atau Meranti Jawa (Dipterocarpus littoralis)
yang telah punah, dulunya tanaman ini merupakan tanaman endemik Nusakambangan.
Tanaman tersebut dieksploitasi besar-besaran untuk keperluan kontruksi
pembangunan dan diperjual belikan
dipasaran sehingga dapat
berakibat pula pada kepunahan tanaman.
Akibat dari penebangan liar ini lingkungan alam yang awalnya seimbang menjadi
tidak seimbang bahkan banyak warga Indonesia yang tidak mengetahui lagi tanaman
Meranti Jawa.
Penutup
Lahan pertanian, hutan, laut, dan
pesisir pantai adalah sebagian dari lingkungan hidup yang merupakan aset
pembangunan untuk kesejahteraan manusia yang pemanfaatannya perlu diperhatikan.
Keanekaragaman hayati sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam tersebut,
oleh karena itu kesadaran akan pentingnya pengelolaan dan
pemeliharaan lingkungan alam sangat diperlukan untuk mempertahankan kelestarian
keanekaragaman hayati. Ada beberapa faktor penyebab kerusakan lingkungan,
antara lain (a) pertambahan penduduk yang pesat, sehingga telah menyebabkan
tekanan yang sangat berat terhadap pemanfaatan keanekaragaman hayati, (b)
perkembangan teknologi yang pesat, sehingga kemampuan orang untuk
mengeksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan semakin mudah
dilakukan, (c) makin meningkatnya penduduk lokal terlibat dalam ekonomi pasar
kapitalis, sehingga menyebabkan eksploitasi keanekaragaman hayati secara
berlebihan, (d) kebijakan dan pengelolaan keanekaragaman hayati yang sangat sentralistik
dan bersifat kapitalis dan tidak tepat guna, dan (e) berubahnya sistem nilai
budaya masyarakat dalam memperlakukan keanekaragaman hayati sekitarnya.
Misalnya, punahnya sifat-sifat kearifan penduduk lokal terhadap lingkungan
hidup sekitarnya
Di wilayah
pertanian kerusakan lingkungan yang terjadi
tidaklah sedikit. Hal tersebut ditunjukkan seperti kepunahan ratusan varietas
padi lokal, ledakan hama baru, serta pencemaran tanah dan air. Fakta serupa
hampir terjadi di wilayah pesisir laut. Limbah industri maupun rumah tangga
sering mencemari wilayah tersebut dan penebangan hutan mangrove membawa dampak negatif bagi keanekaragaman jenis flora
dan fauna di wilayah pesisir pantai. Sedangkan kawasan
hutan sering dibuka dan dijadikan peladangan liar oleh penduduk pendatang, maka
yang banyak terjadi adalah kebakaran hutan, pemberian konsesi hutan, dan
pencurian hasil hutan. Hal tersebut menyebabkan kerusakan ekosistem hutan
secara besar-besaran. Akibatnya, keanekaragam flora dan fauna hutan menurun
drastis, serta manfaat hutan bagi manusia dapat terganggu atau hilang sama sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Atmosukarto.
2005. Keserakahan, Kemiskinan Dan Kerusakan Lingkungan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.3(4):313-325.
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
2006. Inderaja untuk Identifikasi
Kerusakan Lahan Akibat Tsunami dan Rehabilitasinya.
Warta penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Vol.28(3):18-19.
Sudaryono, 2001. Pengaruh Pemberian Bahan Pengkondisi Tanah
Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Tanah Pada Lahan Marginal Berpasir. Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta. Jurnal Teknologi
Lingkungan. Vol.2 (1):106-112.
Tim Sintesis
Kebijakan. 2008. Strategi Penanggulangan
PencemaranLahan Pertanian Dan Kerusakan Lingkungan. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian. Vol. 1 (2): 125-128.
2 Response to "KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI"
Kami informasikan kalau Pelalar (Dipterocapus littoralis) di Nusakambangan belum punah dan masih ditemukan di kawasan konservasi di Nusakambangan. Informasi dapat diperoleh di Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah
terima kasih atas informasi ini :-)
Posting Komentar