SWASEMBADA BERAS
SEBAGAI UPAYA PEMECAHAN MASALAH KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
Bayu Gusti Saputra 111510501152
FAKULTAS
PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER
2012
SWASEMBADA BERAS
SEBAGAI UPAYA PEMECAHAN MASALAH KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
1. PENDAHULUAN
Setiap mahluk hidup di dunia ini membutuhkan pangan
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Ketahanan pangan bukan hanya masalah “cukup
makan”. Lebih jauh dari itu, pemenuhan hak atas pangan dapat dipandang sebagai
salah satu pilar utama hak azasi manusia. Dalam PP No 68 tahun 2002, tentang
Ketahanan Pangan, dinyatakan bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat
penting dalam rangka pembangunan nasional (Edi,2008)
Ketahanan pangan
merupakan salah satu faktor penentu dalam stabilitas nasional suatu negara,
baik di bidang ekonomi, keamanan, politik dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan
pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa
mendatang.
Ketahanan pangan
sendiri memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi :
1. Berorientasi pada rumah tangga dan
individu setiap manusia,
2. Dimensi watu setiap saat pangan
tersedia dan dapat diakses, ,
3. Berorientasi pada pemenuhan gizi,
4. Ditujukan untuk hidup sehat dan
produktif.
Salah satu solusi
yang dapat ditawarkan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan adalah dengan
melakukan Swasembada Beras.
Sebagai bahan pangan utama di Indonesia, beras
dibutuhkan oleh lebih dari 90% penduduk. Dewasa ini kebutuhan pangan nasional
dipenuhi dari produksi beras dalam negeri. Pada saat terjadi anomali iklim
seperti kekeringan atau ledakan hama-penyakit yang berdampak terhadap penurunan
produksi, sebagian kebutuhan pangan dipenuhi dari impor. Idealnya, kebutuhan
beras nasional dipenuhi dari produksi dalam negeri mengingat jumlah penduduk
yang terus bertambah dengan laju pertumbuhan yang masih cukup tinggi dan
tersebar di berbagai pulau. Kalau mengandalkan beras impor maka ketahanan
pangan akan rentan dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan,
terutama ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu, upaya peningkatan
produksi padi perlu lebih digalakkan. Ditinjau dari ketersediaan sumber daya
lahan dan teknologi yang telah dan akan dihasilkan
melalui penelitian, Indonesia memiliki
peluang meningkatkan produksi padi menuju swasembada beras yang berkelanjutan.
Hambatan Dalam Program Swasembada
Pangan
Program swasembada pangan masih bergantung pada
luasan lahan yang tersedia. Dalam menuju swasembada pangan nasional seperti
kedelai, jagung, padi, gula, semuanya masih bergantung pada luas lahan yang
ada. Tanpa ada realisasi perluasan lahan, mustahil target swasembada pangan
2014 terwujud. Dalam memenuhi swasembada pangan, Indonesia masih membutuhkan
lahan sekitar 3 juta Ha. Target produksi padi (GKG) pada 2014 adalah 75 juta
ton dari 64 juta ton sekarang. Jagung dari 17 juta ton menjadi 29 juta ton,
kedelai pada 2014 ditargetkan 2,7 juta ton. Begitu industri gula sekarang baru
2,3 juta ton ditargetkan naik menjadi 3,6 juta ton pada tahun 2014.
Oleh karena itu menurut kami, Swasembada pangan
terkendala pada keterbatasan lahan. Lahan yang dimiliki petani umumnnya hanya
beberapa m2 dan jarang yang mencapai 1 hektar. Kondisi lain petani menjadikan
satu lahan pertanian untuk menanam berbagai komoditas tanaman pangan secara
bergantian. Akibatnya, Indonesia selalu menghadapi persoalan dilematis dalam
upaya peningkatan produktivitas tanaman.Jika menginginkan produksi padi,
produksi kedelai akan turun. Sebab, lahan diambil untuk pertanaman kedelai.
Juga sebaliknya, karena kedua komoditas ini ditanam saling menggantikan.
Sebenarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menjanjikan lahan 2 juta ha
dari total lahan terlantar 7,3 juta ha untuk pertanaman pangan. Namun hingga
saat ini belum ada kejelasan soal lahan itu.
Selain keterbatasan lahan, kendala lain yang
dihadapi mencapai swasembada pangan masih tinggi alih fungsi atau konversi
lahan pertanian ke non pertanian. Saat ini, konversi lahan pertanian mencapai
100.000 ha per tahun, sedang kemampuan pemerintah menciptakan lahan baru
maksimal 30.000 ha. Hingga setiap tahun justru terjadi pengurangan luas lahan
pertanian. Sementara perubahan cuaca tidak menentu dan keterbatasan anggaran
juga berdampak terhadap upaya swasembada beras.
Pada tingkat petani masalah
petani juga semakin banyak. Masalah tersebut diantaranya: rendahnya pengetahuan
atau wawasan, rendahnya tingkat keterampilan, kurangnya motivasi, tidak
memiliki kemampuan pengelolaan usaha tani, kurangnya dukungan atas modal dan
sarana produksi usahatani, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, jarang
mendapatkan bimbingan dan conseling berupa penyuluhan dan tidak adanya wahana
atau tempat petani untuk belajar untuk meningkatkan kemapuan yang dibutuhkannya
Menemukan atau merancang
berbagai solusi alternatif untuk memecahkan hambatan-hambatan dalam program
swasembada beras memerlukan kerjasama yang menyeluruh antar pihak-pihak yang
terlibat. Tidak hanya masalah teknis oleh petani sendiri, swasembada beras juga
terhambat oleh masalah-masalah lain seperti, kebijakan pemerintah yang
memperbolehkan BULOG untuk mengimpor beras. Selain itu masalah lain juga timbul
dari agen penyuluh pertanian, Departemen Pertanian, Lembaga Pendidikan,
Importir, dan bahkan kebijakan pemerintah. Masalah yang perlu dihadapi untuk
mewujudkan swasembada beras di Indonesia memang sangat kompleks, dan perlu
kerja sama menyeluruh antar agen pertanian dan solusi-solusi tepat agar
terciptanya swasembada beras. Agen pertanian tersebut diantaranya adalah :
1. Petani
2. Penyuluh Pertanian
3. Lembaga Pendidikan
4. Deptan
5. Pemerintah, dll
Agen pertanian tersebut
harus dipandang rata dan saling bekerjasama, agar terciptanya program
swasembada beras. Mereka harus bisa mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi
dan merancang solusi-solusi alternatif yang berkualitas dan dapat memecahkan
masalah yang dihadapi program swasembada beras. Selain itu, solusi-solusi
tersebut haruslah dapat diterima oleh berbagai pihak yang terkait. Berikut
adalah skema agen pertanian yang harus bekerjasama antar sesama dan tidak
mementingkan salah satu pihak, agar tercipta swasembada beras.
Swasembada beras bukanlah hal yang mustahil apabila
ada keseriusan dari semua pihak bahkan kita harus mempunyai visi yang jauh
kedepan. Indonesia tidak hanya dapat mewujudkan swasembada beras tetapi juga
dapat menjadi negara pengekspor beras. Dengan dukungan teknologi dan
infrastruktur yang ada dan dengan melihat banyak peluang maka tidak membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai swasembada yang berkesinambungan. Dan satu hal
yang perlu ditekankan sekali lagi bahwa swasembada tidak berarti apa-apa
apabila petani tetap menderita dalam kemiskinan karena tujuan akhir dari
swasembada adalah sejahteranya petani dan mereka mampu berdikari.
SWASEMBADA BERAS
SEBAGAI UPAYA PEMECAHAN MASALAH KETAHANAN PANGAN DI INDONESIA
II. PEMBAHASAN
Swasembada beras berarti mampu memenuhi kebutuhan
akan beras bagi seluruh masyarakat dalam dan diharapkan bertahan dalam waktu. Sebagai
bangsa besar yang dikenal sebagai negara agraris, swasembada beras merupakan
sebuah kewajiban untuk diwujudkan tanpa boleh ditawar lagi. Selama ini
Indonesia selalu bergantung pada negara lain untuk mencukupi kebutuhan pangan
nasional. Dalam sejarah negara Indonesia hanya pernah dua kali mencapai
swasembada beras. Sungguh ironis sebagai negara besar yang mempunyai predikat
sebagai negara agraris setiap tahunnya harus mengandalkan negara lain untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Kewajiban
untuk mencapai swasembada beras bukan hanya pada petani, akan tetapi pihak
akademisi, penyuluh, Deptan, dan pemerintah juga dituntut kinerjanya untuk
mengembangkan dunia pertanian. Ada banyak cara yang dapat ditempuh agar
tercapai swasembada beras secara berkesinambungan. Pemerintah tidak boleh secara
sepihak membuat kebijakan, harus ada mediasi terlebih dahulu dengan pihak
akademisi sebagai konsultan dan petani sebagai aktor utama agar tidak terjadi
lagi kesalah pahaman antar ketiganya. Swasembada beras bukanlah hal yang
mustahil apabila ada keseriusan dari semua pihak bahkan kita harus mempunyai
visi yang jauh kedepan bahkan kita tidak hanya dapat mewujudkan swasembada
beras tetapi juga dapat menjadi negara pengekspor beras. Berikut adalah peran agen pertanian yang
diharapkan dapat mewujudkan Indonesia berswasembada beras.
1. Mengutamakan
petani karena mereka adalah
subjek utama.
2.
Memaksimalkan kinerja penyuluh pertanian.
3. Penerapan
dari inovasi-inovasi hasil penelitian akademisi
dan lembaga penelitian.
4.
Menghentikan ulah importir beras, dan mengalihkan dana impor untuk pertanian
lokal.
5.
Kebijakan pemerintah yang mengutamakan pertanian.
2.1
Mengutamakan
Petani Karena Mereka Adalah
Subjek Utama
Setiap mendengar berita tentang impor beras di televisi,
Petani Indonesia “dipaksa” melupakan memori indah kejayaan pangan pada dekade
80-an, masa dimana Indonesia mengukir prestasi gemilang di bidang pertanian
dengan meraih penghargaan dari organisasi pangan dunia FAO karena berhasil
Swasembada Beras. Produksi beras yang sekitar 25 juta ton lebih pada tahun 1986,
meningkat 100% dibanding produksi pada tahun 1969, prestasi yang luar biasa
pada waktu itu. Dirjen FAO Edouard Saouma datang khusus ke Jakarta untuk
menyerahkan Penghargaan dunia tersebut, Prestasi yang sampai tahun ini (2012)
belum bisa dicapai lagi.
Siapakah yang berperan atas prestasi besar tersebut?
merekalah Petani Indonesia, Petani yang bangga akan profesinya dan antusias
dalam bercocok tanam, tidak kalah pula andil besar pemerintah dalam mendorong
kemajuan dunia pertanian pada waktu itu. Namun sekarang melihat kondisi
pertanian kita yang semakin memprihatinkan, dan tak mampu lagi meningkatkan
kapasitas produksinya, berbagai pihak mulai mempertanyakan kebijakan Impor
beras, yang dianggap kebijakan transaksional dan membunuh inisiatif
meningkatkan produksi beras dalam negeri.
Bagaimana dengan Petani sendiri ? merekalah subjek utama
sekaligus objek dari berbagai kebijakan pangan Pemerintah, Petani sendiri
menghadapi kesulitan yang tidakak kalah pelik selain dari pemerintah (terkait
kebijakan), perubahan iklim yang ekstrem, irigasi, pengalihan lahan pertanian,
dll. Padahal Pertanian telah menjadi pekerjaan bagi sekitar 59 juta penduduk
kita, bisa dibayangkan apabila 1 saja kebijakan terkait pertanian yang kurang
tepat bisa mempengaruhi kehidupan 59 juta rakyat Indonesia.
Melihat kehidupan mereka (Petani) akan membuat kita menghela
napas panjang, mulai dari angkatan tenaga kerja pertanian yang banyak diisi
oleh generasi sepuh karena pemuda-pemudanya banyak yang merantau ke
kota.Anggapan profesi petani bukan lagi sesuatu yang menjanjikan bagi generasi
muda kita, tapi khusus persoalan ini secara global memang sedang menjadi tren,
ini ditunjukkan dengan penurunan minat anak muda untuk menjadi Sarjana
Pertanian. Berikutnya, Penguasaan lahan pertanian yang sangat kecil, rata -
rata Petani Indonesia hanya menguasai setengah hektar saja, tidak itu saja,
alih fungsi lahan terus menggerus lahan pertanian. Tiap tahunnya diperkirakan
sekitar 110.000 hektar lahan pertanian beralih fungsi tak terkecuali di
pedesaan juga, jika di pinggiran perkotaan lahan banyak diambil alih oleh
pengembang Real Estate maka di Pedesaan alih fungsi banyak dilakukan secara
personal juga untuk hunian. Jaringan Irigasi yang sekarang digunakan kebanyakan
merupakan Peninggalan Pembangunan pada masa Orde baru seperti yang saya
ceritakan diatas, dari tahun ke tahun jalurnya semakin tergusur pemukiman,
Sawah kebanjiran di Musim Penghujan dan kekeringan di Musim Kemarau, ditambah
dengan perubahan iklim membuat cuaca lebih sulit untuk diprediksi yang
sedikit banyak turut mempengaruhi pola dan masa bercocok tanam petani, berbagai
kesulitan yang dihadapi Petani saat ini pada akhirnya menurunkan tingkat
produksi Beras nasional kita.
Pada akhirnya peningkatan produksi pangan dan program
swasembada beras tak bisa dilepaskan dari peran petani, jika ingin meraih
kedaulatan pangan berarti Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan petani,
saya yakin kesejahteraan Petani berbanding lurus dengan peningkatan produksi
pangan nasional, bukan hanya pemerintah pusat namun juga daerah.
2.2 Memaksimalkan Kinerja Penyuluh Pertanian.
Kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia dilaksanakan oleh
Departemen Pertanian resmi dimulai 1 Januari, 1905. Di daerah, tugas tersebut
dilaksanakan oleh Pangereh Praja atas perintah kepada petani. Pada tahun 1921,
kegiatan penyuluhan dilaksanakan oleh Dinas Penyuluhan Pertanian, dalam bidang
tanaman pangan dan perkebunan, disamping perkereditan.
Tujuan penyuluhan pertanian adalah dalam rangka menghasilkan
SDM pelaku pembangunan pertanian yang kompeten sehingga mampu mengembangkan
usaha pertanian yang tangguh, bertani lebih baik (better farming), berusaha
tani lebih menguntungkan (better bussines), hidup lebih sejahtera (better
living) dan lingkungan lebih sehat. Penyuluhan pertanian dituntut agar mampu
menggerakkan masyarakat, memberdayakan petani, pengusaha pertanian dan pedagang
pertanian, serta mendampingi petani untuk:
(1)
Membantu menganalisis situasi-situasi yang sedang
petani hadapi dan melakukan perkiraan ke depan.
(2)
Membantu petani menjawab masalah.
(3)
Membantu petani memperoleh pengetahuan/informasi guna
memecahkan masalah.
(4)
Membantu petani mengambil keputusan, dan
(5)
Membantu petani menghitung besarnya risiko atas
keputusan yang diambilnya.
(6)
Menghubungkan antara pemerintah dengan petani.
Keberhasilan penyuluhan pertanian
dapat dilihat dengan indikator banyaknya petani, pengusaha pertanian dan
pedagang pertanian yang mampu mengelola dan menggerakkan usahanya secara
mandiri, ketahanan pangan yang tangguh, tumbuhnya usaha pertanian skala rumah
tangga sampai menengah berbasis komoditi unggulan di desa. Selanjutnya usaha
tersebut diharapkan dapat berkembang mencapai skala ekonomis. Semua itu
berkorelasi pada keberhasilan perbaikan ekonomi masyarakat, peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, lebih dari itu akan bermuara pada
peningkatan pendapatan daerah. Penyuluh Pertanian pernah berhasil membawa
Indonesia swasembada beras pada tahun 1984, ketika dimulai Program Bimbingan
Massal (BIMAS) dengan memasyarakatkan teknologi intensifikasi petanian yang
mencapai puncaknya pada 1984 ketika kita berswasembada beras. Keberhasilan
tersebut merupakan prestasi tertinggi dunia penyuluhan di indonesia.
Namun kini setelah dua dekade petani
kita masih miskin, jauh dari sejahtera. Dari kondisi ini sudah sepatutnya
muncul semangat bahwa upaya penyuluhan pertanian juga dapat mengubah wajah SDM
pertanian di Indonesia saat ini dan kedepan membawa Indonesia berswasembada
beras. Kurangnya jumlah penyuluh di Indonesia merupakan salah satu penyebab
para petani kurang mampu memecahkan berbagai masalahnya. Oleh karena itu
pemerintah harus memulai lagi memperhatikan para penyuluh pertanian. Salah satu
solusinya adalah meningkatkan jumlah penyuluh pertanian yang berkompeten
melalui lulusan Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP). Kemudian peran Dinas
Pertanian tiap daerah juga sangat diperlukan dalam menciptakan
penyuluh-penyuluh pertanian,dengan jumlah yang memadai dan kemampuan yang baik.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli
pertanian, salah satu kunci swasembada beras adalah harus terjadi revolusi
dalam dunia peyuluhan di Indonesia. Para Penyuluh Pertanian masa depan harus
mampu mengantisipasi perubahan IPTEK pertanian, dengan kapasitas dan
kapabilitas memadai. Selain itu jumlah penyuluh pertanian yang mencukupi setiap
aerah di Indonesia, diyakini dapat mempercepat program swasembada beras.
Gambar 1. Peran penyuluh pertanian
sangat diharapkan dalam mensukseskan program swasembada beras.
2.3
Penerapan
Inovasi-Inovasi Hasil Penelitian Akademisi
dan Lembaga Penelitian.
Letak lembaga pendidikan
dalam program swasembada beras dapat digambarkan berada ditengah-tengah. Lembaga pendidikan harus mampu menemukan
inovasi-inovasi terbaru dalam bidang produksi beras di Indonesia. Sampai saat
ini peran lembaga pendidikan dirasa belum maksimal dalam membantu para petani.
Bahkan meskipun banyak hasil thesis tentang pertanian khusunya tanaman padi,
kertas-kertas tersebut hanya berhenti di atas meja. Realisasi penemuan-penemuan
oleh mahasiswa, akademisi, dan beberapa lembaga penelitian sangatlah sedikit,
bahkan dapat dikatakan tidak diwujudkan.
Namun, ada beberapa
inovasi dan teknologi yang telah ditemukan oleh beberapa lembaga pendidikan dan
mampu menberikan kontribusi positif bagi produksi padi diIndonesia. Inovasi
tersebut diantaranya adalah :
1.
Penemuan Benih-Benih Padi Varietas Unggul
Varietas unggul merupakan salah satu teknologi
inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui
peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun toleransi dan ketahanannya
terhadap cekaman biotik dan abiotik. Varietas padi juga merupakan teknologi
yang paling mudah diadopsi karena teknologinya murah dan penggunaannya sangat
praktis (Badan Litbang Pertanian 2007).
Pada periode 2000 – 2006, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian telah melepas 38 varietas unggul padi sawah terdiri dari
28 varietas unggul baru = VUB, 3 semi varietas unggul tipe baru = semi VUTB, 1
varietas unggul tipe baru = VUTB, dan 6 varietas unggul hibrida = VUH.
Menurut Badan Litbang Pertanian secara umum padi VUB
dikelompokkan menjadi 6 kelas yaitu:
(1)
Varietas unggul produktivitas tinggi.
Produktivitas tinggi seperti padi unggul hibrida
(VUH) Maro, Rokan, Hipa-3, Hipa-4, Hipa-5 Ceva, dan Hipa 6 Jete memiliki
produktivitas yang lebih tinggi daripada IR64 di daerah bukan endemik hama dan
penyakit, padi semi VUTB Gilirang, Cimelati, dan Ciapus serta padi VUTB
Fatmawati mempunyai keunggulan antara lain jumlah anakan lebih sedikit tetapi
semuanya produktif, batang kokoh, daun tegak dan tebal, jumlah gabah >250
butir per malai dabn potensi hasil 10 = 15 ton/ha. Ratio gabah/jerami >0,5
sehingga efisien dalam penggunaan hara.
(2)
Varietas unggul hasil stabil.
Untuk mengatasi cekaman biotik dan abiotik yang
mempengaruhi stabilitas hasil telah dihasilkan varietas tahan hama wereng
coklat dengan rasa nasi yang disukai kebanyakan konsumen (Membramo, Widar,
Ciherang dan Cimelati), varietas tahan virus tungro (Tukad Petanu, Tukad Unda,
Tukad Balian, Kalimas dan Bondoyudo), dan varietas tahan penyakit hawar daun
bakteri (Angke dan Code).
(3) Varietas
unggul cita rasa.
Untuk memenuhi kesukaan konsumen akan cita rasa nasi
pulen dan produktivitasnya lebih tinggi daripada IR64 tersedia varietas
Ciherang, Mekongga, Cibogo, dan Cigeulis, sedangkan untuk memenuhi kesukaan
konsumen akan tekstur nasi pera telah dihasilkan varietas Batang Lembang dan
Batang Piaman.
(4) Varietas
unggul mutu gizi.
Konsumen
dalam memilih beras selain mempertimbangkan cita rasa ada juga yang
mempertimbangkan kandungan gizi dan aspek kesehatan. Untuk memenuhi kandungan
gizi dan aspek kesehatan telah dihasilkan VUB beras merah yaitu Aek Sibundong.
Keunggulan varietas ini antara lain potensi hasil tinggi (8 t/ha), umur genjah
(110 – 120 hari), tahan wereng coklat biotif 2 dan 3 serta tahan penyakit hawar
daun bakteri strain IV, citra rasa enak dengan tekstur nasi pulen, disamping
kandungan vitamin B kompleks terutama kandungan asam folat tinggi.
(5)
Varietas unggul sawah dataran tinggi.
Telah
dihasilkan padi VUB untuk dataran sedang sampai tinggi yaitu varietas Sarinah.
Varietas ini mempunyai potensi dan kualitasnya menyerupai Ciherang yang sangat
digemari petani namun hanya cocok di tanam di dataran rendah, dan
(6) Varietas unggul genjah.
Untuk
mengatasi atau terhindar dari kekeringan sebagai dampak dari anomali iklim atau
El-Nino adalah menanam varietas umur genjah. Telah dilepas varietas yang
diperuntukkan bagi daerah yang masa tanamnya pendek seperti Silugonggo dan
Ciujung. Disamping itu telah dilepas 9 (sembilan) padi VUB tahun 2008 yaitu 6
(enam) varietas padi untuk lahan
irigasi dan 3 (tiga) varietas untuk
lahan rawa.
2.
Penelitian Tentang Sistem Tanam Jajar Legowo
Sistem Tanam Jajar Legowo
merupakan rekayasa teknik tanam dengan mengatur jarak tanam antar rumpun maupun
antar barisan, sehingga terjadi pemadatan rumpun padi di dalam barisan dan
memperlebar jarak antar barisan. Pada sistem jajar legowo dua baris semua
rumpun padi berada di barisan pinggir dari pertanaman. Akibatnya semua rumpun
padi tersebut memperoleh manfaat dari pengaruh pinggir (border effect).
Meskipun penemuan ini hasil adopsi dari kearifan masyarakat lokal, namun
setelah diadakan berbagai penelitian tentang sistem tanam padi jajar legowo,
sistem ini ternyata dapat meningkatkan produksi padi yang signifikan
dibandingkan sistem tanam padi yang biasa.
Permana
(1993), Mahasiswa IPB ini melaporkan bahwa rumpun padi yang berada di barisan
pinggir hasilnya 1,5 – 2 kali lipat lebih tinggi dari produksi pada yang berada
di bagian dalam. Keuntungan penanaman padi dengan sistem jajar legowo dua baris
diantaranya:
1.
Semua barisan rumpun tanaman berada pada
bagian pinggir yang biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir).
2.
Pengendalian hama, penyakit, dan gulma
lebih mudah
3.
Penyediaan ruang kosong untuk pengaturan
air, saluran pengumpul keong mas atau untuk mina padi, dan
4.
Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Berikut terdapat tabel diatas menunjukkan bahwa
sistem tanam jajar legowo meningkatkan produksi padi dibandingkan dengan sistem
tanam padi biasa (tegel). Berdasarkan
hasil pengkajian menunjukkan bahwa tanam sistem jajar legowo dua baris dengan
jarak tanam 20 x 10 x 40 cm dapat meningkatkan produksi antara 560 – 1.550
kg/ha dibandingkan dengan taman sistem tegel dengan jarak tanam 20 x 20 cm, dan
R/Cmeningkat dari 1,16 menjadi 1,43 dengan peningkatan keuntungan
Rp1.352.000/ha.
Hasil pengkajian yang dilaksanakan di Desa Palur
Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo pada MT I 2007/2008 (November
2007-Maret 2008) menunjukkan bahwa dengan menerapkan sistem tanam jajar legowo 4:1(empat
baris) dapat meningkatlkan produktivitas padi varietas Cisantana rata-rata ±
1,03t/ha atau 18,00% dibandingkan dengan sistem tanam tegel.
3. Penemuan
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah
Pengelolaan tanaman terpadu
(PTT) merupakan pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme
pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam
upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani dan kelestarian lingkungan.
Prinsip PTT mencakup empat unsur yaitu integrasi, interaksi, dinamis dan
partisipatif. Komponen teknologi dalam PTT dibagi menjadi dua, yaitu komponen
teknologi dasar terdiri dari (1) varietas modern, (2) benih bermutu dan sehat, (3)
pemupukan yang efisien, dan (4) PHT sesuai OPT sasaran, dan komponen teknologi pilihan
terdiri dari pengelolaan tanaman, pupuk organik, irigasi berselang, pupuk cair,
dan penanganan panen dan pascapanen (Lakitan,2001).
Hasil aplikasi PTT pada
lahan sawah irigasi yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi sejak
tahun 1999 di Sukamandi, menunjukkan bahwa peningkatan hasil padi yang
diperoleh berbeda menurut tingkat dan skala luasan usaha. Selain itu, dengan
PTT hasil gabah dan kualitas beras juga meningkat, biaya usahatani padi berkurang,
kesehatan dan kelestarian lingkungan terjaga.
4.
Bioteknologi
dalam Pertanian
Adanya
perbaikan sifat tanaman dapat dilakukan dengan teknik modifikasi genetik dengan
bioteknologi melalui rekayasa genetika untuk memperoleh varietas unggul,
produksi tinggi, tahan hama, patogen, dan herbisida. Perkembangan Biologi
Molekuler memberikan sumbangan yang besar terhadap kemajuan ilmu pemuliaan ilmu
tanaman (plant breeding). Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa perbaikan
genetis melalu pemuliaan tanaman konvensional telah memberikan kontribusi yng
sangat besar dalam penyediaan pangan dunia.
Dalam
bidang pertanian telah dapat dibentuk tanaman dengan memanfaatkan
mikroorganisme dalam fiksasi nitogen yang dapat membuat pupuknya sendiri
sehingga dapat menguntungkan pada petani. Demikian pula terciptanya tanaman
yang tahan terhadap tanah gersang, selain itu masih banyak lagi
penemuan-penemuan baru melalui rekayasa genetika dalam bidang pertanian. Namun
selain memberikan dampak positif, penerapan bioteknologi dalam bidang pertanian
juga menimbulkan beberapa dampak buruk, diantaranya
a.
Gen sintetik dan produk gen baru yang berevolusi dapat
menjadi racun dan atau imunogenik untuk manusia dan hewan.
b.
Tanaman rekayasa genetik tahan herbisida
mengakumulasikan herbisida dan meningkatkan residu herbisida sehingga meracuni
manusia dan binatang seperti pada tanaman.
c.
Tidak ada pengurangan pengunaan pestisida, sebaliknya
penggunaan pestisida tanaman rekayasa genetik meningkat 50 juta pound dari 1996
sampai 2003 di Amerika Serikat.
d.
Herbisida roundup mematikan katak, meracuni plasenta
manusia dan sel embrio. Roundup digunakan lebih dari 80 persen semua tanaman
rekayasa genetik yang ditanam di seluruh dunia.
Sedangkan apa hubungannya
bioteknologi dengan swasembada beras ? sama seperti pada prinsipnya, terdapat
peluang baik dan ancaman buruk masuknya bioteknologi dalam pertanian padi.
Varietas-varietas unggul telah ditemukan dengan berbagai keunggulan
masing-masing. Namun terdapat suatu kecenderungan bahwa bioteknologi tidak
terlepas dari muatan ekonomi. Muatan ekonomi tersebut terlihat dari adanya hak
paten bagi produk-produk hasil rekayasa genetik, sehingga penguasaan
bioteknologi hanya pada lembaga-lembaga tertentu saja. Hal ini memaksa
petani-petani kecil untuk membeli bibit kepada perusahaan perusahaan yang
memiliki hak paten. Oleh karena itu jika menginginkan Indonesia berswasembada
beras, maka perlu adanya penemuan varietas-varietas unggul, dan pendistribusian
bibit padi varietas unggul tersebut harus mendukung petani pai di Indonesia.
Gambar
II. Penerapan sistem bioteknolgi diharapkan dapat berkontribusi positif dalam
program swasembada beras.
4. Menghentikan Ulah Importir Beras, dan Mengalihkan Dana Impor Untuk Pertanian Lokal
Pusat Statistik mencatat sejak januari hingga Agustus 2011 Bulog
sebagai badan stabilisator telah melakukan impor beras dengan jumlah impor
beras yang masuk ke Indoensia mencapai 1,62 juta ton dengan nilai US$ 861,23
juta. Impor tertinggi pada periode Januari hingga Agustus 2011 berasal dari
vietnam yang mencapai 905.930 ton atau 55,83%. Kebijakan ini dirasa anomali, karena
pemerintah dalam hal ini BULOG melakukan impor beras disaat terjadi panen raya
(surplus beras). Selain itu bayangkan jika biaya impor yang sangat besar itu
digunakan untuk peningkatan kualitas pengelolaan tanaman pangan terutama padi
atau perluasan lahan (sawah). Ini akan memacu produksi dan menjamin
kesejahteraan petani Indonesia.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan kemandirian pangan
membawa implikasi bahwa ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional dari
impor perlu dihindari. Potret pangan Indonesia saat ini mengindikasikan bahwa
upaya mengurangi ketergantungan pada pangan impor merupakan tantangan yang
berat, antara lain karena:
1.
Populasi
warga Indonesia yang besar dan masih akan terus tumbuh 1,49 persen per tahun.
2.
Keterlanjuran
konsumen tergantung pada pangan pokok beras.
3.
Usahatani
komoditas pangan kalah kompetitif dibandingkan jenis usaha atau bidang
pekerjaan yang lain.
4.
Harga
pangan impor yang relatif rendah dibandingkan dengan ongkos produksi pangan
serupa jika diproduksi di dalam negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan beras nasional sebenarnya BULOG
tidak harus mengimpor beras, karena sebenarnya kebijakan mengimpor beras
teryata merugikan kaum petani di Indonesia. Harga jual gabah-gabah lokal yang
semakin turun, diperkirakan merupakan imbas dari masuknya beras impor. Jika pemerintah menginginkan swasembada
beras, maka langkah yang diambil adalah mengurangi
jumlah beras impor dan meningkatkan produksi beras lokal, hingga pada
akhirnya Indonesia tidak lagi megimpor beras untuk memenuhi kebutuhan pangan.
5.
Kebijakan Pemerintah yang Mengutamakan Pertanian.
Dalam rencana strategis
Kementerian Pertanian menempatkan beras, sebagai satu dari lima komoditas
pangan utama. Kementerian Pertanian mentargetkan pencapaian swasembada dan
swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan pada tahun 2010-2014 yakni padi,
jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar.
Namun tampaknya, program swasembada
pangan, khususnya beras, tidak akan pernah terwujud selama jajaran pengambil
kebijakan di pemerintahan lebih mementingkan impor ketimbang memperluas
lahan sawah dan membantu petani meningkatkan produksi. Swasembada beras tinggal
ilusi setelah pernah diraih 1984 dan 2004 silam. Indonesia sebenarnya memiliki
sarana dan prasarana lengkap dan dapat diandalkan untuk mendukung swasembada
beras. Terlebih bila memperhitungkan lahan pertanian padi yang masih potensial
dan luas, di samping jumlah sumber daya manusia (petani) banyak, produksi pupuk
dan benih memadai, serta sistem irigasi yang sudah terbentuk sejak lama.
Tetapi pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (pemda) serta seluruh pihak terkait malah terkesan memandang
sebelah mata sektor pertanian tanaman pangan. Fakta paling gamblang tentang
itu: lahan pesawahan termasuk yang beririgasi teknis terus menyusut secara
signifikan akibat tergusur aneka kepentingan nonpertanian, terutama permukiman
dan industri. Maka jangan sesali kalau produksi beras nasional cenderung
menurun. Bahkan kalaupun berbagai faktor amat menunjang seperti iklim,
pengendalian hama, juga penyediaan berbagai input produksi beras nasional sulit
sekali ditingkatkan lagi. Produksi beras nasional boleh dikatakan sudah stagnan
di level 50-an juta ton per tahun. Padahal konsumsi nasional, sebagai
konsekuensi pertambahan penduduk, terus meningkat pasti dan begitu signifikan.
Kebijakan pemerintah selama ini
dipandang tidak pernah memihak kepada petani. Petani hanya dipandang sebagai
obyek pertanian dan bukan sebagai subyek pertanian. Satu kesalahan besar ketika kita memandang petani hanya sebagai obyek
pertanian adalah kita akan selalu memanjakan petani dengan benih subdisi, pupuk
subdisi, dan pestisida kimia tanpa kita memberikan pengetahuan kepada petani
mengenai cara pembibitan sendiri, diajari cara pembuatan pupuk dan pestisida
yang ramah lingkungan. Di satu sisi pemerintah harus menyediakan sarana
prasarana bagi petani dan di sisi lain pemerintah juga tidak boleh terlalu
memanjakan petani dengan berbagai benih, pupuk, dan pestisida sehingga petani
tetap dapat berpikir kreatif dan tidak selalu bergantung kepada pemerintah dan
perusahaan pertanian.
Sejak dicanangkannya kebijakan revolusi hijau,
petani diwajibkan menanan varietas padi tertentu. Akibatnya petani tidak pernah
lagi membuat inovasi sendiri dan mandiri dalam membuat varietas padi sendiri.
Dampaknya akan sangat terasa apabila varietas yang dijual oleh perusahaan benih
misalnya dijual dengan harga yang sangat tinggi maka terpaksa mau tidak mau
petani harus membeli karena petani tidak mampu membuatnya sendiri. Jadi untuk
sekarang ini sebagian besar petani tidak mampu lagi untuk mandiri, berdikari
dan berdaulat atas pertaniannya sendiri.
Di lain pihak, negara-negara
seperti Thailand dan Vietnam terus berupaya keras meningkatkan produksi beras
secara intensif. Bagi Indonesia, Thailand dan Vietnam kini menjadi sumber
andalan bagi impor beras. Tapi celakanya, impor beras kini terkesan bukan lagi
sekadar alternatif sementara. Impor beras seolah sudah menjadi andalan untuk
mengamankan kebutuhan nasional. Di tengah produksi beras di dalam negeri yang
cenderung stagnan atau bahkan terus menurun, sementara kebutuhan konsumsi
mencatat grafik yang kian menanjak, pemerintah tidak cukup terlecut untuk
bertindak habis-habisan menggerakkan upaya peningkatan produksi beras nasional.
Pemerintah terkesan lebih merasa aman dan nyaman mengandalkan impor.
Terkait dengan pelaksanaan
swasembada beras dalam rangka menunjang Ketahanan Pangan pada tahun 2011
diterbitkan Instruksi Presiden No. 5 tahun 2011 tentang Pengamanan Beras
Nasional dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim yang mengamanatkan kepada
menteri terkait untuk melakukan upaya pengamanan produksi beras/gabah nasional
dalam rangka menghadapi kondisi iklim ekstrim. Kementrian Pertanian dalam hal
ini diinstruksikan oleh Presiden untuk mengambil langkah-langkah berikut:
a)
Melakukan
analisa risiko dampak iklim ekstrim terhadap produksi dan distribusi
gabah/beras serta mendeskriminasikan informasi kepada petani
b)
Meningkatkan
luas lahan dan pengelolaan air irigasi untuk pertanian padi dalam
mengantisipasi dan menghadapi kondisi iklim ekstrim
c)
Meningkatkan
ketersediaan benih, pupuk, dan pestisida yang sesuai, baik dalam jenis, mutu,
waktu, lokasi dan jumlah
d)
Meningkatkan
tata kelola usaha tani, pengendalian organisme penganggu tumbuhan, penanganan
bencana banjir, dan kekeringan pada lahan pertanian padi.
e)
Menyediakan
dan menyalurkan bantuan benih, pupuk dan pestisida secara cepat serta bantuan
biaya usaha tani, bagi daerah yang mengalami puso dan terkena bencana
f)
Meningkatkan
alat dan mesin pertanian, baik dalam jumlah maupun mutu untuk mempercepat
pengelolaan usaha tani padi.
g)
Meningkatkan
alat dan mesin pertanian baik dalam jumlah maupun mutu untuk mempercepat
pengelolaan usaha tani padi.
h)
Meningkatkan kegiatan pasca panen untuk
mengurangi kehilangan hasil dan penurunan mutu gabah/beras pemerintah.
i)
Meningkatkan
penganekaragaman konsumsi dan cadangan pangan, terutama dengan memanfaatkan
sumber pangan lokal.
Dalam Peraturan Menteri Pertanian
No. 15/Permentan/Rc.110/1/2010 disebutkan dukungan utama untuk menunjang
keberhasilan pencapaian target swasembada Beras yakni:
a.
Penyediaan
pupuk (subsidi dan non-subsidi): urea 35,15 juta ton, SP-36 22,23 juta ton, ZA
6,29 juta ton, KCL 13,18 juta ton, NPK 45,99 juta, dan organik 53,09 ton.
b.
Subsidi:
pupuk, benih/bibit dan kredit/bunga.
c.
Perluasan
lahan baru-baru 2 juta ha untuk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
hijauan makanan ternak dan padang penggebalaan.
d.
Investasi
pemerintah dan swasta di bidang pertanian lokal.
Di Indonesia memang
terdapat banyak peraturan yang mendukung pertanian, kebijakan-kebijakan diatas
hanya sedikit dari berbagai kebijakan yang telah diputuskan. Namun, penerapan
hampir tidak ada sama sekali. Bagi pemerintah, tercapainya swasembada adalah
suatu kewajiban dan masyarakat juga berkewajiban membantu petani dalam masalah
transfer ilmu pengetahuan kepada petani serta ilmu tentang politik pertanian
agar petani selanjutyna tidak hanya pandai bertani tetapi juga mengetahui ilmu
politik dan berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam dunia
pertanian (Hutahuruk,1996).
Swasembada pangan
(beras) tahun 2008 (menurut data statistik) dijadikan ajang rebutan buat
kampanye. Apakah itu bulog, menteri, partai politik, bahkan presiden
ikut-ikutan mengklaim. Sebenarnya itu memang tugasnya mereka jadi bukan
prestasinya kalau seumpama memang benar-benar swasembada terjadi. Lalu apa
hebatnya, dan apa gunanya swasembada kalau tetap saja petani dan rakyat tetap
menderita. Swasembada hanya jalan, bukan tujuan akhir, karena tujuan akhirnya
yaitu kesejahteraan yang merata untuk semua rakyat indonesia terlebih bagi
petani sebagai pahlawan swasembada walau tanpa ada yang mengakuinya, bukan
menteri bahkan presiden apalagi partai politik.
Kesadaran kolektif semacam inilah yang harus
benar-benar dimiliki oleh setiap individu di negara kita. Pemerintah selalu
membangga-banggakan diri dengan swasembada beras agar mendapat pujian dan
penghargaan dari masyarakat internasional, akan tetapi masalah kesejahteraan
petani dinomor duakan.
III. KESIMPULAN
Kunci keberhasilan peningkatan produksi padi dan swasembada
beras adalah saling bekerjasamanya semua agen pertanian dengan satu tujuan yang
sama. Semua permasalahan yang timbul dari setiap subjek harus segera ditemukan
solusinya karena masalah yang dihadapi untuk swasembada beras sangatlah kompleks.
Namun pada dasarnya untuk
mencapai swasembada beras adalah
1.
Harus
ditingkatkannya gairah petani padi sendiri untuk menanam padi.
2.
Dukungan
penyuluhan pertanian dan pendampingan kepada petani.
3.
Penerapan dari inovasi-inovasi hasil penelitian
akademisi dan lembaga penelitian yang berpihak kepada petani.
4.
Penyediaan
sarana prasarana yang dapat dengan mudah dan murah diakses petani serta harga
jual gabah maupun beras yang layak, akan segera berimbas pada penurunan impor
beras.
5.
Dengan
adanya kebijakan pemerintah yang berpihak kepada petani, maka petani akan
semakin rajin untuk menanam padi dan tidak akan berpikir untuk berpindah
menanam tanaman lainnya atau berpindah mata pencaharian .
Pada dasarnya solusi tersebut
masih sebagian kecil dari berbagai masalah yang harus dihadapi untuk mewujudkan
swasembada beras. Swasembada beras bukanlah hal yang mustahil apabila ada
keseriusan dari semua pihak bahkan kita harus mempunyai visi yang jauh kedepan ,
kita tidak hanya dapat mewujudkan swasembada beras tetapi juga dapat menjadi
negara pengekspor beras. Dengan dukungan teknologi dan infrastruktur yang ada
dan dengan melihat banyak peluang maka tidak membutuhkan waktu yang lama untuk
mencapai swasembada yang berkesinambungan. Dan satu hal yang perlu ditekankan
sekali lagi bahwa swasembada tidak berarti apa-apa apabila petani tetap
menderita dalam kemiskinan karena tujuan akhir dari swasembada adalah
sejahteranya seluruh warga negara tertutama petani dan mereka mampu berdikari.
DAFTAR PUSTAKA
Edi, Krisnamurti. 2008. “Agenda Pemberdayaan Petani dalam Rangka Pemantapan
Ketahanan Pangan Nasional”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Vol.4(2):171-177.
Hutauruk, J. 1996. Dampak
Kebijakan Harga dasar Padi dan Subsidi Pupuk Terhadap Permintaan dan Penawaran
Beras di Indonesia. Skripsi. IPB,
Bogor.
Icha ,Garnisah.
2012. “ Swasembada
Pangan” (online), (file:///D:/SWASEMBADA%20PANGAN%20%C2%AB%20Sidik's%20Blog.htm.
diakses tanggal 24 September 2012).
Lakitan, Benyamin.
2001. Kebijakan Riset Dan
Teknologi untuk Pencapaian Ketahanan Pangan dan
Peningkatan Kesejahteraan Petani 1. Jurnal Pertanian. Vol Vol.14(3).27-30.
Margono Slamet. 2000. “Pemantapan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan
Pembangunan dalam Pembangunan”. Dalam: Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju
Terwujudnya Masyarakat Madani.. Proseding Seminar Nasional. September 2000.
Bogor. Pustaka Wirausaha Muda.
Permana. 1993. Efektivitas Sistem Tanam Jajar
Legowo dalam meningkatlkan
produktivitas padi varietas Cisantana. (Kasus :
Petani Padi Pandan Wangi di Desa Palur Kecamatan Mojolaban
Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Cianjur).
Skripsi. IPB, Bogor.
PERHIPTANI.
2012. “Peran Penyuluh” (online), file:///D:/peranan-penyuluhan-pertanian-dalam.html. diakses
tanggal 24 September 2012.
Santoso, Eko
.2012. “ Menjadi Indonesia” (online), file:///D:/Swasembada%20Beras%20dan%20Kesejahteraan%20untuk%20Indonesiaku%20_%20KEM2011.htm. diakses
tanggal 24 September 2012.
Soedijanto Padmowihardjo. 2005. ” Penyuluhan sebagai Pilar Akselerasi
Pembangunan Pertanian di Indonesia pada Masa Mendatang”. Dalam: Membentuk Pola
Perilaku Manusia Pembangunan. Proseding Seminar Nasional. Bogor: IPB Press.
No Response to " "
Posting Komentar